Mnemonik; Aco dan Danny

 

Oleh: Sofyan Basri


Empat hari lalu; 29 September, seperti biasanya, saya membuka facebook. Salah satu kawan; senior di kampus, membuat sebuah status. Status di facebook itu juga membagikan sebuah tulisan panjang. Seorang tokoh politik Makassar; Ilham Arief Sirajuddin (Aco). Kawan saya ini dan Aco saya kenal memang dekat. Bahkan sejak masih kuliah dulu.


Karena penasaran, saya buka tulisan itu. Rupanya, ada beberapa hal yang menarik. Terutama terkait situasi politik di Kota Makassar hari ini; Pilwalkot. Di dalam tulisan itu, disebutkan nama salah satu calon walikota, Danny Pomanto. Tulisan itu juga seperti tanggapan atas sebuah video wawancara. Yang hari ini baru saya nonton langsung.


Setelah saya menyelesaikan video yang berdurasi sekitar 40 menit itu. Saya melihat ada sesuatu yang lain. Salah satunya terkait keterbukaan kalimat apa yang disampaikan kedua sahabat ini; Aco dan Danny. Aco sedikit banyak tidak sepakat dengan kalimat yang disampaikan Danny dalam video itu. Dan kupikir, itu hal biasa saja.


Toh, memadukan dua arus pikiran itu memang tidak mudah. Banyak hal yang bisa terjadi dalam pemaduan itu. Termasuk diantaranya, saling kritik; tapi saling peduli. Tidak usah jauh-jauh kita mengambil contoh. Pada awal pembentukan negara yang kita cintai ini juga demikian; Soekarno dan Hatta tentang federal dan kesatuan.


Oke, kembali ke Aco dan Danny. Menurut pengetahuan saya, keduanya adalah sahabat; karib malah. Sebab ketika Aco masih menjadi walikota, Danny salah satu yang menjadi teman diskusinya. Tidak bisa dipungkiri. Beberapa monumental yang dikerjakan Aco, ada juga keterlibatan Danny: Pantai Losari misalnya.


Sejujurnya, saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan ini. Apalagi jika memisahkan atau bahkan membenturkan keduanya. Hanya karena politik; Pilwalkot Makassar. Kupikir itu sungguh tidak adil dalam hal ini. Persahabatan untuk saling menghargai jalan pikiran itu yang utama. Politik; Pilwalkot, itu hanya lima tahun. Sederhana.


Perbedaan pikiran atau pandangan itu hal biasa saja. Bahkan itu sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu. Misal, ketika terjadi pembakaran perpustakaan Baghdad atau perpustakaan Alexandria. Karena itu, yang luar biasa keji bagi saya adalah mereka yang TIDAK MAMPU MENERIMA PERBEDAAN itu sendiri.


Karenanya, dalam hal ini saya mencoba mengambil sisi alternatifnya; tidak membela salah satunya. Sebab saya bukanlah yang berhak untuk menilai keduanya. Jika secara pribadi, baik Aco maupun Danny adalah orang baik. Walau pada sisi yang lain, keduanya juga memiliki kekurangan masing-masing; sedikit argumentatif.


Walau demikian, dalam kesempatan ini, saya hanya akan menggambarkan atau menuliskan berdasarkan kemampuan pengetahuan saya; akibat munculnya perbedaan yang terjadi itu, Aco dan Danny. Dalam sebuah studi tentang ingatan atau memori, ada sebuah teknik bernama mnemonik. Teknik ini dikenal sejak Yunani dan Romawi kuno.


Mnemonik berasal dari bahasa Yunani "mnemosyne". Artinya adalah Dewi Memori. Secara sederhana, mnemonik dapat dikatakan sebagai sebuah teknik menghafal dengan mudah. Atau bisa juga dimaknai sebagai sebuah benda pengingat. Misal hanya mengingat benda tertentu, orang langsung akan mengingat sebuah peristiwa.


Karena itu, apa yang terjadi antara Aco dan Danny; dalam konteks sekarang ini. Hanya dalam situasi Mnemonik. Keduanya; Aco dan Danny, mematok sebuah peristiwa dari konteks yang berbeda. Dalam video itu, Danny mengingat peristiwa dimulai ketika ada dorongan sejumlah budayawan dan akademisi.


Sedang Aco, tidak. Aco mulai mengingat ketika memasangkan Danny-Ical di Pilwalkot 2013. Dua alur pikiran ini tidak salah; di luar dari konteks alasan dan situasi politik hari ini. Karena itu, perbedaan dalam memulai alur pikir; mengingat kembali peristiwa atau mnemonik, tidak bisa jadi alasan keduanya menjadi seteru. 


Apatah lagi melupakan atau menghempaskan persahabatan dan persaudaraan di masa lalu. Terlalu munafik keduanya melupakan sejarah itu. Ingat, Pilwalkot itu, hanya lima tahun. Kupikir ini kritik saya kepada keduanya; Aco dan Danny. Juga kepada mereka yang seakan-akan mengambil peran; membela salah satunya secara "heroik".


Kupikir, untuk benar-benar menjadi "heroik" itu tidak sesederhana itu. Membenarkan dan menyalahkan itu tidak terkait sama sekali dengan hubungan emosional: teman; sahabat; saudara; guru. Tapi, membenarkan dan menyalahkan itu terkait dengan kejujuran. Terutama kejujuran kepada diri kita sendiri. Ya, DIRI KITA SENDIRI.


Dengan kejujuran itu, maka akan membuat kita dapat berlaku adil. Sebab, tidak ada keadilan tanpa kejujuran. Walau dalam hal ini, perlu diingat juga bahwa adil itu ada dua; adil personal dan adil universal. Dan kupikir, mereka yang mengambil peran yang seolah-olah "heroik" itu, hanya adil secara personal. Tidak universal.


Kupikir demikian, salam cinta, aku mencintaimu.

Berikan Komentarmu

Previous Post Next Post

*Artikel berita yang diposting oleh Skuadron Team EKSPEDISI DP ini adalah rilis berita yang dapat diposting ulang, atau dikutip sebagian atau keseluruhan.


**Untuk pertanggung-jawaban etika jurnalisme, setiap media yang memposting atau mengutip sebagian atau keseluruhan, dapat melakukan pendalaman dan pengembangan berita lebih lanjut, yang bukan merupakan bagian dari tanggung-jawab sebagaimana yang ada dalam artikel ini.