Analisis Kritis; Pelaporan ADAMA




Oleh: Sofyan Basri


Beberapa media mengabarkan terkait situasi politik di Makassar; panas. Saya membaca betul secara seksama. Salah satunya terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon Danny Pomanto-Fatmawati Rusdi; dugaan pembagian sembako. Dugaan itu pun kemudian ditindaklanjuti dengan pelaporan ke Bawaslu.


Tidak sampai disitu. Dugaan pelanggaran itu juga dilaporkan ke Polrestabes Makassar; bukti dan saksi katanya telah diperiksa. Dilain pihak, pasangan dengan tagline ADAMA itu merasa dijebak. Ada dugaan jika ada orang yang dengan sengaja menggunakan atribut ADAMA melakukan pembagian sembako. Ini mungkin terjadi.


Karena itu, Danny Pomanto dalam media sosial instagram miliknya; dpramdhanpomanto, tegas mengakui jika timnya tidak pernah membagikan sembako. Sebagai orang yang tidak terlibat dalam percaturan politik ini. Tentu haruslah hati-hati memberikan penilaian. Agar tidak sekedar asumsi hingga justifikasi.


Secara hukum, pelaporan terhadap dugaan tindak pidana pemilu oleh ADAMA itu sudah benar; ke Bawaslu. Dengan prasyarat, pelapor wajib memenuhi secara formil dan materil. Bawaslu dalam hal ini berpedoman pada undang undang 10 tahun 2016. Terutama dalam pasal 73. Tidak ada yang salah disitu; wajar dan benar secara konstitusional.


Tapi, dalam hal ini perlu ada nalar kritis. Bahwa pelaporan itu bukan bukti telah terjadi pelanggaran. Karena itu, framing pelaporan sebagai barang bukti secara etis tidak dapat dibenarkan. Dalam hukum, ada istilah praduga tidak bersalah. Walau secara politis, hal ini bisa digiring untuk mempengaruhi opini publik. Itu juga wajar.


Bahwa tidak serta merta terlapor adalah orang yang bersalah. Kita semua perlu menghargai proses. Termasuk proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Bawaslu. Ketika Bawaslu merasa belum lengkap maka meminta kepada pelapor untuk melengkapi berkas. Jika tidak cukup bukti maka bisa tidak dilanjutkan.


Dan ingat bahwa, ketika dilanjutkan saja, belum tentu juga sudah bersalah. Tidak semudah itu FERGUSO. Bersalah atau tidaknya itu harus berkekuatan hukum tetap. Dalam hal kajian hukum, masih ada tahapan berikutnya. Proses yang berlangsung di Bawaslu itu baru pembahasan pertama. Masih ada tahapan selanjutnya; pembahasan dua dan tiga hingga masuk penuntutan.


Pada tahap kedua dan seterusnya. Posisi Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) menjadi sangat strategis. Sebab dalam proses di Gakumdu, segala hal tentang laporan yang masuk itu menjadi lebih jelas. Terutama terkait formil dan materil laporan yang diajukan. Setelah semua dinilai cukup, maka akan dilanjutkan ke pengadilan.


Di dalam proses inilah akhir dari segala laporan itu. Dengan catatan hingga pada tahap akhir dari proses pengadilan ini. Juga tentu saja jika laporan yang diberikan dapat dibuktikan secara formil dan materil oleh seluruh pihak yang terkait. Terutama dari Gakumdu. Ini baru putusan yang mengikat; bersalah dan tidak bersalah.


Oleh karena itu, penggiringan opini publik atas kasus ini sebenarnya menunjukan tingkat isi otak seseorang itu dalam meramu strategi politik di Pilwalkot. Saya menduga, strategi yang ditempuh telah buntu; mungkin juga survei bayaran. Maka dipilihlah jalan pintas; menjatuhkan lawan dengan kasus hukum. Seperti yang terjadi di Pilwalkot 2018.


Walau demikian, politik tetaplah politik. Tidak ada pikiran masuk dalam arena pertarungan politik dengan tujuan kalah. Segala hal bisa dilakukan; untuk mencapai kemenangan itu. Termasuk menempuh jalur hukum; konstitusional maupun inkonstitusional. Sebab kadang-kadang politik harus penuh lumpur bahkan darah sekalipun.


Kupikir, warga Kota Makassar itu sudah cerdas. Tidak mudah untuk dibodoh-bodohi. Apalagi hanya kasus yang demikian receh ini. Semakin tinggi pohon maka semakin kencang juga angin yang menerpa. Warga melihat itu. Buktinya di Pilwalkot 2018, kotak kosong dimenangkan. Karenanya, cara-cara kotor itu sudah tidak berlaku.


Tapi kembali lagi. Ini soal pilihan. Semua berhak menentukan metode dan tata cara untuk mencapai kemenangan dalam politik. Seorang penulis jerman, Bertolt Brecht pernah mengingatkan "Kebenaran adalah anak dari waktu, bukan otoritas". Sebagaimanapun kau menghancurkan lawanmu dengan otoritas. Tetap rakyatlah penentunya.


Kupikir demikian, salam cinta, aku mencintaimu.

 

Berikan Komentarmu

Previous Post Next Post

*Artikel berita yang diposting oleh Skuadron Team EKSPEDISI DP ini adalah rilis berita yang dapat diposting ulang, atau dikutip sebagian atau keseluruhan.


**Untuk pertanggung-jawaban etika jurnalisme, setiap media yang memposting atau mengutip sebagian atau keseluruhan, dapat melakukan pendalaman dan pengembangan berita lebih lanjut, yang bukan merupakan bagian dari tanggung-jawab sebagaimana yang ada dalam artikel ini.