Apa Perbedaan Golput dan Kolom Kosong?


MAKASSAR -   Pendeklarasian Relawan Kolom Kosong (REWAKO) Makassar sebagai bentuk solidaritas masyarakat setelah gugurnya Pasangan Calon (Paslon) petahana Mohammad Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari Paramastuti (DIAmi) dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Makassar.

Dengan misi mengajak masyarakat untuk memilih kolom kosong, pada 5 Juni 2018, Anshar Manrulu selaku koordintaro REWAKO mengkampanyekan pemilihan kolom kosong sejalan dengan hak demokrasi rakyat dan lebih bagus dibandingkan Golongan Putih (Golput). 
"Kami mensosialisasikan kalau memilih kolom kosong itu nilainya sama dengan mencoblos orang bisa dan dibenarkan memilih kolom kosong itu adalah hak demokrasi rakyat dan itu lebih bagus dari pada golput," jelas Anshar Manrulu saat diwawancarai Redaksi KabarMakassar.com usai aksi di Fly over Makassar, Selasa 5 Juni 2018.
Lalu benarkah memilik kolom kosong atau kotak kosong dalam surat suara berbeda dengan menjadi golput?
Dirga Agung, selaku pengamat hukum Kota Makassar menjelaskan memilih kolom kosong pada surat suara pilwalkot nanti bukanlah sebuah tindakan golput berlandaskan idealisme dibalik golput dan kolom kosong.
"Memilih kotak kosong itu bukan golput,  kalau saja ada calon yang tidak masuk dalam pencalonan atau kompetisi bisa saja pendukungnya keberatan dan pasti akan memilih kotak kosong," ungkap Pak Dirga saat diwawancarai oleh Redaksi KabarMakassar.com pada Rabu 6 Juni 2018.
Dosen Hukum Universitas Atma Jaya Makassar itu menjelaskan terdapat perbedaan idealisme dibalik kehadiran golput dan gerakan kolom kosong. Menurutnya,  Golput datang dari pemikiran masyarakat akan tidak adanya kandidat paslon yang dianggap layak untuk memimpin sehingga membuat masyarakat pemilih untuk tidak mendatangi Tempat Pemungutan Suara. Berbeda dengan gerakan kolom kosong yang merupakan bentuk kekecewaan akan keinginan masyarakat untuk memilih paslon yang sempat digadangkan dalam pemilihan namun harus gugur ditengah perjuangan politiknya
"Golput dan kolom kosong itu sangat berbeda, kita tidak boleh salah paham. Golput itu kita tidak memilih,  tidak datang ke TPS atau datang ke TPS tapi asal-asal mencoblos, itu hitungan suaranya hilang," jelasnya.
Seperti diketahui, berbagai organisasi rakyat yang tergabung sebagai REWAKO membentuk posko perlawanan ini di 14 Kecamatan di Kota Makassar untuk mensosialisasikan perjuangan kolom kosong ke masyarakat pemilih. Hal ini merupakan bentuk kekecewaan kepada pelaksana pemilihan umum Kota Makassar setelah sebelumnya menyatakan pilwalkot Makassar akan berlangsung hanya  dengan satu pasangan calon, yakni Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggugurkan DIAmi yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) dan Mahkamah Agung yang menyatakan pasangan ini telah melanggar persyaratan pencalonan.
Hal ini kemudian menarik perhatian praktisi hukum itu, Dirga menjelaskan dengan adanya keputusan tetap dari pelaksana pemilu, masyarakat Kota Makassar tetap harus patuh dan menjalankan aturan yang berlaku dengan damai, terlepas dari kekecewaan akan proses sengketa pilwalkot.
"Sebagai orang hukum, menurut saya demokrasi adalah semua pihak harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Jadi tidak ada alasan pihak manapun untuk tidak patuh terhadap aturan yang berlaku. Sesuai konstitusi negara Indonesia adalah negara hukum, semua warga negara harus patuh, tidak boleh ada yang dianakemaskan atau dianaktirikan," ungkap Pak Dirga. 
Menurutnya, sengketa dalam proses pilwalkot Makassar bisa saja terjadi di setiap daerah karena setiap kontestan yang merasa dirugikan atau kalah berhak berjuang dan mendapat keadilan baik melalui jalur hukum atau diluar hukum.
"Tapi yang terpenting upaya apapun yang dilakukan calon pemimpin tersebut untuk menuntut keadilan bagi kubunya tidak melanggar norma hukum serta etika dan moral yang hidup dalam masyarakat," jelas Dirga saat diwawancarai terkait justifikasi ajakan memilih kolom kosong di ruang Akademik Universitas Atma Jaya.
Baginya, gerakan kolom kosong pada akhirnya akan bermuara pada kepentingan publik. Mengingat siapapun yang terpilih, pada akhirnya harus bisa mengakomodir semua masyarakat tanpa terkecuali
"Gerakan kolom kosong dan ada calon itu harusnya semua pihak diuntungkan karena siapapun yang menjadi pemimpin itu harus bisa mengakomodir kepentingan masyarakat secara umum, tidak boleh hanya mengakomodir kepentingan mayoritas atau kepentingan orang yang banyak di massa pendukungnya. Pemimpin itu harus bisa mengakomodir semua agama, suku dan strata yang ada di Makassar," jelas Pak Dirga. 
Pak Dirga Agung menutup wawancara dengan menegaskan jikalau gerakan kolom kosong dianggap sama dengan kampanye salah satu pihak merupakan hal kewajaran dikarenakan merupakan salah satu bentuk ekspresi sekaligus aspirasi yang tidak mengganggu hak masyarakat terkhusus nilai-nilai demokrasi.
"Titu tidak apa-apa, ini kan berekspresi,  menentukan sikap yang tidak boleh itu menyampaikan aspirasi dengan menganggu hak orang lain,  mengintimidasi atau mempengaruhi atau memberikan janji agar mengikuti anjurannya. Hilanglah nilai-nilai demokrasi itu, karena nilai demokrasi intinya adalah kebebasan," tutupnya.
Sumber : https://www.kabarmakassar.com/posts/view/2112/apa-perbedaan-golut-dan-kolom-kosong.html
Update Jumat 8-6-2018 Pukul 14:34 Wita

Berikan Komentarmu

Previous Post Next Post

*Artikel berita yang diposting oleh Skuadron Team EKSPEDISI DP ini adalah rilis berita yang dapat diposting ulang, atau dikutip sebagian atau keseluruhan.


**Untuk pertanggung-jawaban etika jurnalisme, setiap media yang memposting atau mengutip sebagian atau keseluruhan, dapat melakukan pendalaman dan pengembangan berita lebih lanjut, yang bukan merupakan bagian dari tanggung-jawab sebagaimana yang ada dalam artikel ini.