Adik Eks Wakapolda Nilai Polda Labrak Aturan di Kasus Kepala BKAD Makassar

Makassar– Adik kandung mantan Wakapolda Sulsel Brigjen Pol Syahrul Mamma, Farid Mamma menilai penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel melabrak aturan dalam penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan pengadaan makan minum yang menjerat Kepala Bidang Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kota Makassar, Erwin Syafruddin Haiyya sebagai tersangka.

Penetapan tersangka terhadap Erwin dalam kasus tersebut, kata Farid, terlalu dini. Dimana seharusnya penyidik membuktikan terlebih dahulu adanya kerugian negara yang ril atau jelas sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.

“Kasus tindak pidana korupsi berbeda dengan tindak pidana umum. Penyidik harus paham itu. Berbicara tindak pidana korupsi maka harus ada poin utama terlebih dahulu yang namanya kerugian negara yang ril,” kata Farid yang juga sebagai pengacara senior Kota Makassar kepada Kedai-Berita.com, Minggu (28/1/2018).

Pada tindak pidana korupsi, kata Farid, terlebih dahulu harus membuktikan fakta materil adanya kerugian negara yang jelas. Tidak sekedar menduga-duga. Hal itu dijelaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016.

“Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah menegaskan membatalkan tafsiran kata “dapat” dalam unsur tindak pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara menurut Undang-undang Tipikor yaitu tidak lagi sebagai delik formil. Akan tetapi, berlaku sebagai delik materil dalam artian bahwa kerugian negara harus bersifat penghitungan yang nyata (tidak potensial loss),” ungkap Farid.

Jika ada aparat hukum menetapkan tersangka seseorang tanpa didasari dari putusan MK yang telah memberikan dasar hukum penilaian kerugian negara sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka menurut ketentuan UU Nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, kata Farid, diartikan sebagai penyalahgunaan kewenangan (onrecht matige over heid daad) yaitu sebagai perbuatan tanpa dasar dalam hal ini tidak melaksanakan atau tidak menjalankan putusan pengadilan.

Menetapkan tersangka sebelum menemukan perhitungan kerugian negara yang nyata, terang Farid, itu dapat dikatakan bertentangan dalam putusan pengadilan dalam hal ini putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 alias penetapan tersangka cacat hukum karena dari sisi adminisrasi pemerintahan harus ada kewenangan penilaian yang sah.

“Masa putusan MK mau ditafsir lain lagi. Putusan MK itu merupakan hak pengujian UU Tipikor di bawah UUD 1945 yang pada pokoknya bersifat menciptakan hukum (Recht Schiping),” tegas Farid.
Sebelumnya, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel menetapkan Erwin Syafruddin Haiyya, Kepala BKAD Kota Makassar sebagai tersangka dengan waktu penyidikan yang sangat singkat.

Erwin yang diketahui juga menjabat sebagai Pengguna Anggaran (PA) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) itu dikenakan Pasal 12 Huruf i Subsider Pasal 11 Subsider Pasal 12 Huruf b UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Tersangka selaku penyelenggara negara baik langsung atau tak langsung turut serta dengan sengaja dalam pengadaan barang/jasa yang diurus dan diawasinya, dan atau menerima hadiah atau janji yang terkait dengan jabatannya yang terjadi pada Kantor BPKAD Kota Makassar,” ucap Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani.

Penetapan tersangka terhadap Erwin, kata Dicky, berdasarkan dua alat bukti yang cukup. Dimana selain berupa petunjuk juga didukung beberapa keterangan saksi-saksi.
“Soal perhitungan kerugian negara, penyidik baru akan berkoordinasi secepatnya dengan pihak BPKP Sulsel untuk menghitungnya,” ungkap Dicky.

Erwin ditetapkan sebagai tersangka bermula saat penyidik Direktorat Reskrimsus Polda Sulsel melakukan penggeledahan di Balaikota Makassar, Rabu 3 Januari 2018. Penggeledahan tersebut diklaim penyidik merupakan rangkaian kasus dugaan korupsi dua proyek yang terjadi di lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar yakni dugaan korupsi pengadaan pohon ketapang kencana dan pembangunan sanggar kerajinan lorong-lorong di Kota Makassar. Kedua proyek ini menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2016.

Pada penggeledahan di Balaikota Makassar, tepatnya di ruangan Kepala BKAD Kota Makassar itu, penyidik justru menemukan ada beberapa lembar uang rupiah beserta uang dollar amerika dan europe. Dimana total uang tersebut jumlahnya Rp 1 miliar.

Penyidik pun berusaha mengaitkan keberadaan uang senilai Rp 1 miliar itu dengan dua kasus dugaan korupsi yang sedang berlangsung diselidiki. Namun setelah memeriksa maraton para saksi-saksi, penyidik tak mampu membuktikan hubungan uang senilai Rp 1 miliar itu dengan kedua kasus yang sedang diusut.

Namun belakangan, tiba-tiba penyidik malah mengekspose dua kasus baru yang selama ini tak diketahui kejelasannya kapan dilaporkan dan diselidiki yakni kasus pengadaan ATK dan pengadaan makan minum pegawai yang akhirnya menetapkan Erwin Syafruddin Haiyya, Kepala BKAD Kota Makassar itu sebagai tersangka.

Penyidik beralibi jika hasil penyidikan diantaranya pemeriksaan para saksi-saksi yang terdiri dari saksi tenaga honorer, Alam, Lilis selaku Bendahara Keuangan, Alham Ramli rekanan dari CV Wyata Praja serta saksi 7 perusahaan penyedia dan pejabat pengadaan, ditemukan ada uang senilai Rp 300 juta yang tersimpan dalam amplop besar yang diduga sebagai setoran dari perusahaan CV. Wyata Praja atas pembayaran pengadaan langsung ATK, Pengadaan makan minum pegawai untuk periode bulan Nov-Des 2017.

Uang senilai Rp 300 juta itu, menurut penyidik, bagian dari uang yang sebelumnya disita dari ruangan BKAD Kota Makassar senilai Rp 1 miliar saat penggeledahan berlangsung pertama kali.
Penyetoran uang senilai Rp 300 juta yang diklaim penyidik berasal dari CV Wyata Praja itu, merupakan perintah dari Erwin selaku Kepala BKAD Makassar.

“Untuk semua pengadaan langsung berupa ATK, Penggandaan dan Makan Minum di BKAD Makassar dimana dikerjakan oleh 7 perusahaan yang ditunjuk langsung oleh tersangka tanpa proses pengadaan,” jelas Dicky.

Tujuh perusahaan rekanan dari hasil keterangan para saksi-saksi, beber Dicky, dinyatakan wajib menyetorkan 95 persen dana pembayaran yang dikumpulkan melalui saksi Alam selaku staf honorer dan Lilis selaku Bendahara Keuangan di BKAD Kota Makassar.

“Ditemukan juga ada 5 persen diberikan kepada pihak penyedia sebagai fee dan penyedia tidak perlu melaksanakan pengadaan tersebut,” beber Dicky.

Dana 95 persen yang dikumpulkan melalui saksi Alam dan disetorkan kepada saksi Lilis tersebut, kemudian digunakan oleh Lilis untuk belanja langsung ATK, Penggandaan dan makan minum atas perintah tersangka dan sebagiannya lagi digunakan untuk kepentingan pribadi tersangka termasuk pemberian ke beberapa pihak melalui tunai maupun transfer.

“Ada beberapa barang bukti dalam kasus Erwin ini diantaranya uang senilai Rp 300 juta, dokumen pengadaan langsung ATK, Penggandaan, makan minum, rekening koran 7 perusahaan penyedia, print out catatan penggunaan belanja langsung ATK, penggandaan dan makan minum serta print out catatan penggunaan pribadi atas perintah tersangka,” Dicky menandaskan. 

Update: 28-1-2018 Pukul 19:07 Wita


Berikan Komentarmu

Previous Post Next Post

*Artikel berita yang diposting oleh Skuadron Team EKSPEDISI DP ini adalah rilis berita yang dapat diposting ulang, atau dikutip sebagian atau keseluruhan.


**Untuk pertanggung-jawaban etika jurnalisme, setiap media yang memposting atau mengutip sebagian atau keseluruhan, dapat melakukan pendalaman dan pengembangan berita lebih lanjut, yang bukan merupakan bagian dari tanggung-jawab sebagaimana yang ada dalam artikel ini.