![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSKr0iI-N2bFnlssIBUyzO7M1ljTE8laCFa9Bn4Gm2lUPSdxC2XqBotDLqf7z3fa_EL-BolzObjl-Aw-7CGHKPqzQdsm6Ggz2KfyuFL0pZb1E1BWu55cV4img5x-WjZ31cULlByFWEjNk/s400/img_660_442_keluarga-s_1492586495arid.jpg)
Penetapan tersangka terhadap Erwin dalam kasus
tersebut, kata Farid, terlalu dini. Dimana seharusnya penyidik membuktikan
terlebih dahulu adanya kerugian negara yang ril atau jelas sebelum menetapkan
seseorang sebagai tersangka.
“Kasus tindak pidana korupsi berbeda dengan tindak
pidana umum. Penyidik harus paham itu. Berbicara tindak pidana korupsi maka
harus ada poin utama terlebih dahulu yang namanya kerugian negara yang ril,”
kata Farid yang juga sebagai pengacara senior Kota Makassar kepada Kedai-Berita.com,
Minggu (28/1/2018).
Pada tindak pidana korupsi, kata Farid, terlebih
dahulu harus membuktikan fakta materil adanya kerugian negara yang jelas. Tidak
sekedar menduga-duga. Hal itu dijelaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 25/PUU-XIV/2016.
“Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah menegaskan
membatalkan tafsiran kata “dapat” dalam unsur tindak pidana yang menimbulkan
kerugian keuangan negara menurut Undang-undang Tipikor yaitu tidak lagi sebagai
delik formil. Akan tetapi, berlaku sebagai delik materil dalam artian bahwa
kerugian negara harus bersifat penghitungan yang nyata (tidak potensial loss),”
ungkap Farid.
Jika ada aparat hukum menetapkan tersangka seseorang
tanpa didasari dari putusan MK yang telah memberikan dasar hukum penilaian kerugian
negara sebagaimana yang dikemukakan diatas, maka menurut ketentuan UU Nomor 30
tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, kata Farid, diartikan sebagai
penyalahgunaan kewenangan (onrecht matige over heid daad) yaitu sebagai
perbuatan tanpa dasar dalam hal ini tidak melaksanakan atau tidak menjalankan
putusan pengadilan.
Menetapkan tersangka sebelum menemukan perhitungan
kerugian negara yang nyata, terang Farid, itu dapat dikatakan bertentangan
dalam putusan pengadilan dalam hal ini putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 alias
penetapan tersangka cacat hukum karena dari sisi adminisrasi pemerintahan harus
ada kewenangan penilaian yang sah.
“Masa putusan MK mau ditafsir lain lagi. Putusan MK
itu merupakan hak pengujian UU Tipikor di bawah UUD 1945 yang pada pokoknya
bersifat menciptakan hukum (Recht Schiping),” tegas Farid.
Sebelumnya, penyidik Direktorat Reserse Kriminal
Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel menetapkan Erwin Syafruddin Haiyya, Kepala
BKAD Kota Makassar sebagai tersangka dengan waktu penyidikan yang sangat
singkat.
Erwin yang diketahui juga menjabat sebagai Pengguna
Anggaran (PA) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) itu dikenakan Pasal 12
Huruf i Subsider Pasal 11 Subsider Pasal 12 Huruf b UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
“Tersangka selaku penyelenggara negara baik langsung
atau tak langsung turut serta dengan sengaja dalam pengadaan barang/jasa yang
diurus dan diawasinya, dan atau menerima hadiah atau janji yang terkait dengan
jabatannya yang terjadi pada Kantor BPKAD Kota Makassar,” ucap Kepala Bidang
Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani.
Penetapan tersangka terhadap Erwin, kata Dicky,
berdasarkan dua alat bukti yang cukup. Dimana selain berupa petunjuk juga
didukung beberapa keterangan saksi-saksi.
“Soal perhitungan kerugian negara, penyidik baru
akan berkoordinasi secepatnya dengan pihak BPKP Sulsel untuk menghitungnya,” ungkap
Dicky.
Erwin ditetapkan sebagai tersangka bermula saat
penyidik Direktorat Reskrimsus Polda Sulsel melakukan penggeledahan di
Balaikota Makassar, Rabu 3 Januari 2018. Penggeledahan tersebut diklaim
penyidik merupakan rangkaian kasus dugaan korupsi dua proyek yang terjadi di
lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar yakni dugaan korupsi pengadaan pohon
ketapang kencana dan pembangunan sanggar kerajinan lorong-lorong di Kota
Makassar. Kedua proyek ini menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
tahun 2016.
Pada penggeledahan di Balaikota Makassar, tepatnya
di ruangan Kepala BKAD Kota Makassar itu, penyidik justru menemukan ada
beberapa lembar uang rupiah beserta uang dollar amerika dan europe. Dimana
total uang tersebut jumlahnya Rp 1 miliar.
Penyidik pun berusaha mengaitkan keberadaan uang
senilai Rp 1 miliar itu dengan dua kasus dugaan korupsi yang sedang berlangsung
diselidiki. Namun setelah memeriksa maraton para saksi-saksi, penyidik tak
mampu membuktikan hubungan uang senilai Rp 1 miliar itu dengan kedua kasus yang
sedang diusut.
Namun belakangan, tiba-tiba penyidik malah
mengekspose dua kasus baru yang selama ini tak diketahui kejelasannya kapan
dilaporkan dan diselidiki yakni kasus pengadaan ATK dan pengadaan makan minum
pegawai yang akhirnya menetapkan Erwin Syafruddin Haiyya, Kepala BKAD Kota
Makassar itu sebagai tersangka.
Penyidik beralibi jika hasil penyidikan diantaranya
pemeriksaan para saksi-saksi yang terdiri dari saksi tenaga honorer, Alam,
Lilis selaku Bendahara Keuangan, Alham Ramli rekanan dari CV Wyata Praja serta
saksi 7 perusahaan penyedia dan pejabat pengadaan, ditemukan ada uang senilai
Rp 300 juta yang tersimpan dalam amplop besar yang diduga sebagai setoran dari
perusahaan CV. Wyata Praja atas pembayaran pengadaan langsung ATK, Pengadaan
makan minum pegawai untuk periode bulan Nov-Des 2017.
Uang senilai Rp 300 juta itu, menurut penyidik,
bagian dari uang yang sebelumnya disita dari ruangan BKAD Kota Makassar senilai
Rp 1 miliar saat penggeledahan berlangsung pertama kali.
Penyetoran uang senilai Rp 300 juta yang diklaim
penyidik berasal dari CV Wyata Praja itu, merupakan perintah dari Erwin selaku
Kepala BKAD Makassar.
“Untuk semua pengadaan langsung berupa ATK,
Penggandaan dan Makan Minum di BKAD Makassar dimana dikerjakan oleh 7
perusahaan yang ditunjuk langsung oleh tersangka tanpa proses pengadaan,” jelas
Dicky.
Tujuh perusahaan rekanan dari hasil keterangan para
saksi-saksi, beber Dicky, dinyatakan wajib menyetorkan 95 persen dana
pembayaran yang dikumpulkan melalui saksi Alam selaku staf honorer dan Lilis
selaku Bendahara Keuangan di BKAD Kota Makassar.
“Ditemukan juga ada 5 persen diberikan kepada pihak
penyedia sebagai fee dan penyedia tidak perlu melaksanakan pengadaan tersebut,”
beber Dicky.
Dana 95 persen yang dikumpulkan melalui saksi Alam
dan disetorkan kepada saksi Lilis tersebut, kemudian digunakan oleh Lilis untuk
belanja langsung ATK, Penggandaan dan makan minum atas perintah tersangka dan
sebagiannya lagi digunakan untuk kepentingan pribadi tersangka termasuk
pemberian ke beberapa pihak melalui tunai maupun transfer.
“Ada beberapa barang bukti dalam kasus Erwin ini
diantaranya uang senilai Rp 300 juta, dokumen pengadaan langsung ATK,
Penggandaan, makan minum, rekening koran 7 perusahaan penyedia, print out catatan
penggunaan belanja langsung ATK, penggandaan dan makan minum serta print out
catatan penggunaan pribadi atas perintah tersangka,” Dicky menandaskan.
Update: 28-1-2018 Pukul 19:07 Wita
Post a Comment