Kemenangan Warga Makassar


Oleh: Sofyan Basri 


Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Makassar berakhir sudah. Meski tahapan perhitungan secara manual oleh KPU Makassar masih terus berjalan. Akan tetapi, secara quick count pemenang telah keluar: pasangan Danny Pomanto-Fatmawati Rusdi atau biasa disebut ADAMA. Tidak satu lembaga; ada beberapa yang lain.


Secara trend survei, pasangan yang hanya didukung dua partai politik; NasDem dan Gerindra, sejak awal telah diprediksi akan memenangkan pertarungan. Riset yang dilakukan oleh Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) misalnya: ADAMA 41,9 persen; APPI-ARB 17,8 persen; DILAN 16,6 persen; dan IMUN 6,8.


Angka itu tidak jauh berbeda dengan hasil quick count Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA; 41,38 persen dengan data masuk 100 persen. Karenanya, kemenangan ADAMA bisa dikatakan diraih sebelum pertarungan pada tanggal 9 Desember lalu di Tempat Pemungutan Suara (TPS) diseluruh Kota Makassar.


Karena itu, sangat wajar ketika sejumlah pesaing ADAMA di Pilwalkot langsung memberikan ucapan selamat. Sejujurnya, ucapan selamat itu tidak tepat jika hanya disematkan kepada Danny Pomanto dan Fatmawati Rusdi. Kupikir, ucapan itu juga berhak diberikan kepada warga Kota Makassar.


Saya kira ini bukan hanya karena warga Kota Makassar yang menjadi penentu. Tapi lebih jauh dari itu. Masyarakat Kota Makassar telah paham bagaimana seharusnya memberikan suara pada ajang politik. Masyarakat Kota Makassar juga telah berani keluar dari zona nyaman; memberikan suara dengan janji dan uang.


Warga Kota Makassar tidak ingin lagi terbeli dengan harga murah. Mereka ingin pemimpin yang dapat mengayomi tanpa embel-embel yang lain. Mereka butuh yang sudah terbukti. Juga mereka tidak ingin membeli kucing dalam karung. Karena itu, kemenangan ini dan ucapan selamat ini harus dan wajib disematkan juga warga Kota Makassar.


Sebagai bukti bahwa warga Kota Makassar telah dapat membedakan memilih karena nurani dan karena hal lain telah dilalui pada Pilwalkot 2018. Ketika itu, Pilwalkot terasa sangat kaku sekali; hanya ada satu pasangan calon yang secara sah ikut bertarung. Danny Pomanto sebagai incumbent ketika itu terdiskualifikasi.


Semua orang tentu tahu bagaimana ceritanya. Juga bagaimana ending dari drama politik dua tahun lalu itu. Munafri Arifuddin yang berhadapan dengan Kotak Kosong tumbang. Kemudian menjadi sebuah sejarah politik tersendiri dalam pesta demokrasi lima tahunan di Kota Makassar dan bahkan Indonesia. Juga menjadi bahan penelitian politik.


Dari peristiwa bersejarah itu, kita dapat memetik sebuah pelajaran penting. Pertama, warga Kota Makassar tidak ingin pesta demokrasi itu dimonopoli. Pilwalkot itu adalah pesta mereka, tidak ingin ada yang didewakan. Mereka hanya ingin itu. Maka ketika ada pihak yang mencoba merebut itu; mereka kemudian marah di bilik suara.


Kedua, warga Kota Makassar membuktikan bahwa merekalah penentu. Sebab banyak dari kita seringkali salah tafsir dalam hal ini; bahwa penentu Pilwalkot itu adalah partai politik. Kupikir hal ini bisa saja dinilai demikian. Partai itu punya infrastruktur juga memiliki basis pemilih yang disebut sebagai konstituen.


Karenanya, partai seakan-akan seperti wakil Tuhan dalam politik. Maka ketika Pilwalkot 2018, partai berbondong-bondong hanya mengusung satu pasangan calon. Seketika itu warga Kota Makassar menyadari perannya begitu penting dalam praktik pemerintah yang menganut sistem demokrasi; dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.


Ketiga, warga Kota Makassar ingin kontestasi Pilwalkot berlangsung secara jujur dan adil. Kupikir ini sesuai dengan pribahasa Bugis Makassar "pala uragae’, tebakke’ tongennge’ teccau mae’gae’, tessie’wa siyulae" artinya berhasil tipu daya, tak akan musnah kebenaran, tak akan kalah yang banyak, tak akan berlawanan yang berpantangan.


Keempat, warga Kota Makassar masih menginginkan Danny Pomanto. Ketika Danny Pomanto didiskualifikasi pada Pilwalkot 2018 karena dituduh membagikan handphone kepada RT/RW, pengangkatan tenaga kontrak dan penggunaan tagline 2x+baik. Warga melampiaskan dengan tidak datang ke TPS atau mencoblos Kotak Kosong.


Hal ini tercermin dari begitu antusias warga Kota Makassar mengkampanyekan pencoblosan Kotak Kosong waktu itu. Dan dukungan itu terus berlanjut hingga masuk Pilwalkot 2020. Terbukti jika Danny Pomanto yang kini menggandeng Fatmawati Rusdi melenggang sebagai pemenang dengan persentase suara sekitar 41 persen.


Oleh karena itu, Pilwalkot Makassar 2020 telah dimenangkan oleh warga Kota Makassar. Kemenangan ADAMA adalah kemenangan warga Kota Makassar. Kini, kemenangan warga itu telah diserahkan kepada pasangan ADAMA sebagai simbolis pemimpin pada masa mendatang. Kupikir demikian, salam cinta, aku mencintaimu.

Berikan Komentarmu

Previous Post Next Post

*Artikel berita yang diposting oleh Skuadron Team EKSPEDISI DP ini adalah rilis berita yang dapat diposting ulang, atau dikutip sebagian atau keseluruhan.


**Untuk pertanggung-jawaban etika jurnalisme, setiap media yang memposting atau mengutip sebagian atau keseluruhan, dapat melakukan pendalaman dan pengembangan berita lebih lanjut, yang bukan merupakan bagian dari tanggung-jawab sebagaimana yang ada dalam artikel ini.